Bab 1: Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala
Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail
bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi
bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al- Qurasyi al-'Adawi رضي
الله عنه berkata:
Saya mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم
bersabda : [3]
"Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya
dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi
niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan
RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak
diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak
dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam
hijrahnya itu." (Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis
ini)
Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah
Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan
Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi,
- lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam
kedua kitab masing- masing yang keduanya itu adalah
seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.
[3] Saidina Umar bin Khaththab r.a. itu adalah seorang
khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan
sebutan Amirul mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau
adalah khalifah kedua sepeninggal Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh dan diteruskan oleh
khalifah Usman dan Ali radhiallahu 'anhuma, juga oleh para khalifah
Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu
Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah
gelar kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang
hafs artinya singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa, sebab
memang terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi
musuh di medan perang, dalam menegakkan keadilan di antara seluruh
rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam meneterapkan hukuman kepada
siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak dengan keras, sedang
yang teraniaya dibela dan dilindungi.
Penjelasan:
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم
menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi صلی
الله عليه وسلم
sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah,
semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais.
Beliau صلی الله عليه وسلم
mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan Hanbali mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan Hanbali mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.